Rabu, 24 Maret 2010

Prinsip Perubahan Perilaku

PRINSIP PERUBAHAN PERILAKU
Eny Retna Ambarwati


Dari sisi psikologis manusia, maka setiap perilaku seseorang dipengaruhi oleh pikirannya. Menurut sudut pandang faham psikologi kognitif, semua perilaku manusia dipengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut. Hasil olah pikir manusia itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham psikoanalisis, perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut. Dari sudut pandang metafisik, dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akal manusia tersebut dan akal manusia dipengaruhi oleh dorongan hatinya. Keinginan atau dorongan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak. Baik perspektif psikologis yang digunakan, maupun perspektif metafisik yang digunakan, semua menuju ke satu arah, yaitu jika ingin dilakukan sebuah perubahan di dalam perilaku seseorang, maka ada sesuatu dalam diri orang tersebut yang harus diubah dan dididik. Baik akal pikir atau cara berpikirnya, maupun dari sisi motivasi hatinya.

A. PENGERTIAN PERILAKU
Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini.
Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Dalam konteks ini maka setiap perbuatan seseorang dalam merespon sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ketiga ranah ini. Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan.
Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berdasarkan pengalaman yang didapatkan oleh setiap manusia. Dengan demikian pada dasarnya pengetahuan akan terus bertambah bervariatif dengan asumsi senantiasa manusia akan mendapatkan proses pengalaman atau mengalami. Proses pengetahuan tersebut menurut Brunner melibatkan tiga aspek, yaitu :
1. Proses mendapatkan informasi baru dimana seringkali informasi baru ini merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya.
2. Proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru.
3. Proses mengevaluasi, yaitu mengecek apakah cara mengolah informasi telah memadai (Brunner dalam Suparno, 2001).
Sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Ini berarti sikap seseorang akan keterampilan pada kesetujuan-ketidaksetujuan, atau suka-tidak suka terhadap sesuatu.
Keterampilan adalah aktivitas fisik yang dilakukan seseorang yang menggambarkan kemampuan kegiatan motorik dalam kawasan psikomotor. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motoris bukan saja karena ia dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga karena mereka melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu. Dalam hal ini terdapat kecenderungan terkoordinasikannya aktivitas fisik karena pengenalan dan kelenturan jasmani untuk digerakkan sesuai ketentuan gerakan yang mestinya dilakukan (Suparno, 2001). Keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif.
Pemaknaan keterampilan dalam hal ini kemampuan sebagai level of competence, terdapat dua penggunaan istilah competence (y), yakni:
1. Digunakan untuk merujuk pada area pekerjaan atas peranan yang mampu dilakukan oleh seseorang dengan kompeten jadi fokusnya mendeskripsikan tugas-tugas pekerjaan dan output jabatan, kemudian disebut kompeten (competence).
2. Digunakan untuk merujuk pada dimensi-dimensi perilaku yang berada di balik kinerja yang kompeten jadi fokusnya mendeskripsikan mengenai perilaku, sikap, dan karakteristik orang dalam melakukan berbagai tugas pekerjaan untuk menghasilkan outputjabatan yang efektif, outstanding, atau superior, kemudian disebut kompetensi (competency).
Kompetensi adalah behavior repertoire yang dilakukan oleh sebagian orang dengan lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Pendekatan pertama mengarah pada job specification, yang kedua kepada person specification (Prihadi, 2004). Perilaku seseorang pastilah berubah, dengan asumsi bahwa perubahan dapat terjadi pada ketiga ranah (pengetahuan, sikap, keterampilan) sekaligus atau salah satu ranah saja. Perubahan yang alamiah ini dapat diperoleh oleh seseorang dengan belajar dari lingkungannya, baik keluarga, komunitas tempat tinggal atau masyarakat lebih luas secara informal. Proses belajar yang alamiah sebagai hasil pengaruh lingkungan ini disebut dengan pendidikan informal.
Perubahan kearah perilaku yang diharapkan (expected behavior) berupa perilaku yang lebih baik, hanya dapat dilakukan melalui proses yang disengaja dengan grand design mencakup proses:
1. Pendidikan informal.
Diperlukan konsistensi proses belajar informal dalam keluarga, dalam pergaulan di masyarakat, dan individu-individu kunci yang akan dijadikan model oleh publik.
2. Pendidikan non formal.
Dalam proses ini pemerintah dan masyarakat melakukan upaya aktif untuk meningkatkan daya upaya proses pembelajaran yang dilakukan secara insidental atau regular, melalui pendekatan pelatihan, kursus-kursus atau seminar-seminar.
3. Pendidikan formal.
Kebutuhan pendekatan khusus sehingga proses belajar formal ini tidak terjebak oleh formalitas yang hanya mampu mentransfer pengetahuan tanpa memberikan “bekas” ruh jiwa pada peserta didik.
Perubahan perilaku menurut, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk : Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
Kecakapan motorik ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam kebiasaan, seperti peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Keterampilan seperti menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Pengamatan yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar. Berfikir asosiatif yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was.
Adapun beberapa contoh perubahan perilaku antara lain :
1. Perubahan Prilaku Pada Anak Yang Terpaksa Karena Orang Tua,
Hal ini di karenakan jangankan untuk mengingat perilaku negatif mereka, anak-anak bahkan tidak dapat menerima informasi jika mereka tidak membutuhkannya. Mereka akan menerima informasi yang memang mereka perlukan, misalnya kenapa pintu lemari bisa dibuka dan ditutup, atau kenapa api lilin itu seperti bergoyang-goyang. Anak tidak merasa perlu mendapatkan informasi bahwa bermain pintu ataupun api itu berbahaya.
Ancaman dan hukuman bukanlah sesuatu yang dibutuhkan oleh anak. Kesenangan bermain dan memperoleh pengetahuan dari berbagai macam bentuk permainan itu lah yang dibutuhkan oleh anak.
Sama halnya dengan membereskan mainan, bangun di pagi hari, mandi, makan, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan rutin yang membuat orang tua dapat mengambil kesimpulan bahwa anaknya sulit diatur dan tidak disiplin. Ketika diminta membereskan mainan, anak justru melanjutkan permaianan atau mengambil mainan yang lain. Ketika diminta bangun di pagi hari, akan membuat anak bete sepanjang pagi. Ketika diminta untuk mandi, anak justru asyik bermain dengan peralatan mandinya. Ketika diminta untuk makan, anak justru asyik mengaduk-aduk makanannya atau justru sama sekali tidak mengindahkan panggilan untuk makan.
Semakin orang tua memaksa, justru semakin ramai pergulatan yang terjadi. Semakin tinggi atau keras hukuman orang tua maka akan bertambah tinggi pula tingkat stress di kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak.
Salah satu cara yang sebenarnya paling jitu untuk melatih kedisiplinan anak adalah mencari tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak, menjadikannya suatu reward dalam kontrak kerja sama antara orang tua dan anak, serta secara konsisten menegakkan.
Kontrak kerja diberlakukan pada anak? Kesannya memang sulit, padahal sebenarnya sangat mudah asalkan orang tua maupun orang dewasa di sekitar anak tetap menjaga kekonsistenannya. Orang tua dan anak tinggal mendiskusikan apa yang sangat diinginkan oleh anak. Jika yang diinginkannya tidak masuk akal, orang tua sebaiknya bernegosiasi sampai mendapatkan suatu bentuk reward yang memang masuk akal. Reward di sini tidak selalu berupa barang (mainan, sepeda, baju, dlsb), tetapi bisa juga kesempatan untuk menonton film, televisi, main ke mall atau tempat rekreasi. Pada tahap ini, anak dikenalkan pada konsep tujuan.
Setelah reward berhasil diputuskan bersama, sekarang giliran orang tua yang menegosiasikan keinginan mereka untuk merubah perilaku anak. Misalnya, anak mau membereskan mainannya sendiri, atau bangun di pagi hari, atau perubahan perilaku yang lainnya. Sebaiknya satu perilaku untuk setiap reward agar anak lebih mudah mengingat syaratnya. Pada tahap ini anak akan mulai mengenal syarat dalam memenuhi keinginannya. Syarat yang akan selalu ditemuinya di seluruh waktu hidupnya kelak. Misalnya, Anda mau membeli baju? Anda harus punya uang.Anda mau uang? Anda harus bekerja.
Jika reward dan target perilaku telah berhasil diputuskan, masih ada beberapa tahap lagi. Pertama, menegosiasikan jangka waktu kontrak, bisa mulai dari 1 hari sampai 3 bulan, tergantung dari tingkat kesulitan perubahan perilaku. Waktu yang terlalu singkat tidak akan merubah perilaku anak secara permanen, namun waktu yang terlalu lama akan membuat kedua belah pihak akan bosan dan kehilangan momen. Jangka waktu yang tepat akan sangat berguna untuk melatih anak dalam menunda keinginan dan melatih orang tua untuk bersabar.
Tahap berikutnya adalah membuat bukti tertulis dari kontrak tersebut. Siapkan saja kertas yang bertuliskan semua tahap di atas (bisa juga dengan gambar jika anak masih belum bisa membaca) dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Jangan lupa untuk menyertakan kolom bukti perilaku, yang nantinya akan berisi simbol keberhasilan setiap perilaku yang sesuai dengan kontrak. Simbol ini dapat berupa stempel atau stiker yang ditempelkan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang ditargetkan. Letakkan di tempat yang mudah dilihat oleh semua orang.
Tahap yang berikutnya, yaitu tahap pelaksanaan, adalah tahap yang paling berat. Baik bagi orang tua maupun anak. Berat bagi orang tua karena tidak boleh menghukum atau mengancam, hanya mengingatkan anak atas reward yang diinginkan anak jika kontrak berhasil. Alih-alih mengatakan “Awas … kalau kamu … maka ayah/ibu akan …” maka dengan sistem kontrak orang tua hanya boleh mengatakan “Kamu mau … khan? Masih ingat janjinya? Hayo, kalau kamu mau …. maka kamu harus …”
Berat, karena kadang-kadang anak berubah pikiran mereka mengenai apa yang diinginkan. Berat, karena kadang-kadang benda atau moment yang diinginkan anak sebagai reward tidak mudah diperoleh, sehingga orang tua “terpaksa” harus membelinya terlebih dahulu sebelum kehabisan.
Jangan pernah memberikan reward pada anak sebelum waktunya karena anak tidak akan belajar apa pun. Untuk menghindari hal ini lah maka tahap pertama, yaitu tahap reward, yang paling penting dan harus dipastikan pemerolehannya.
Berat bagi anak karena seringkali perilaku yang ditargetkan adalah perilaku yang tidak mereka sukai atau memang sulit dilakukannya. Untuk mengatasi hal ini lah maka pada tahap ke dua, yaitu tahap syarat, orang tua harus benar-benar memahami kemampuan anak dalam kaitannya dengan perubahan perilaku yang diharapkan. Suasana selama pelaksanaan kontrak pun tetap harus dijaga keasyikan-nya, agar tidak terjebak dalam situasi yang membosankan atau justru situasi yang membuat “panas”.
Tahap terakhir adalah tahap yang paling menyenangkan, di mana perilaku anak berubah dan ia bahagia karena mendapatkan reward. Pujilah keberhasilannya dan diskusikan situasi-situasi sulit yang mungkin pernah terjadi dengan tetap mengingatkan …bahwa si anak akhirnya berhasil. Misalnya dengan mengatakan “Tu … waktu itu kamu marah-marah, terus kamu nangis, terus kamu bilang kalau nggak bisa, nah, ini buktinya kamu dapat hadiahnya. Berarti bisa khan? Anak ibu/ayah khan hebat!”
2. Perubahan Prilaku Pada Anak Yang Ingin Meniru,
Tayangan televisi yang diangkat dalam makalah ini adalah tayangan “Smackdown”, tayangan yang merupakan program acara asing yang ditayangkan di Indonesia. Acara tersebut menayangkan adegan perkelahian yang telah diatur sesuai skenario agar tampak seperti adegan perkelahian yang sesungguhnya.
Stasiun televisi mungkin pada awalnya menampilkan tayangan ini dengan tujuan untuk memberikan hiburan yang unik pada masyarakat, tanpa ada kekhawatiran akan berdampak negatif di kemudian hari. Namun ternyata tujuan yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi, karena tayangan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa pada anak-anak.
Tayangan ini kemudian diminta untuk dihentikan pemutarannya dikarenakan telah menimbulkan korban jiwa, cedera parah pada anak-anak dan kerugian materiil yang memiliki nominal yang tidak sedikit. Pihak televisi dianggap tidak memperhatikan dampak buruk dari tayangan tersebut dan terkesan hanya ingin mencari keuntungan saja dengan menayangkan acara tersebut. Padahal seharusnya, menurut KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tugas televisi sebagai lembaga penyiaran adalah memberikan pendidikan, informasi dan hiburan yang sehat. Dan tayangan “Smackdown” tidak dapat dikatakan sebagai tayangan yang sehat, setelah dampak yang ditimbulkannya.
Tayangan “Smackdown” menjadi kontroversi dikarenakan acara yang ditayangkan pada pukul 21.00 itu banyak ditiru oleh anak-anak, sehingga anak-anak pelaku peniruan tersebut mengalami patah tulang dan bahkan ada yang meninggal dunia. Dari pihak orang tua pun mengalami kerugian materiil untuk penyembuhan anak-anak mereka.
Anak-anak dengan cepat menghapal adegan-adegan yang ditayangkan hingga nama-nama tokoh dalam acara tersebut. Teknik bela diri pun secara kilat mereka “kuasai” dan mempraktikannya pada teman-teman mereka.
Dengan timbulnya korban jiwa dan cedera, serta tidak menginginkan adanya dampak buruk yang lain, menyebabkan masyarakat, terutama orang tua, melalui KPI meminta agar tayangan ini dihentikan pemutarannya di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka solusi yang dapat diberikan adalah: pemberian sanksi hukum terhadap stasiun televisi yang melanggar atau bertentangan dengan tugas lembaga penyiaran, yaitu pendidikan, informasi dan memberikan hiburan yang sehat.
Pemberian sanksi terkait terhadap pihak-pihak yang menggunakan jasa promosi (iklan) pada saat acara tersebut ditayangkan, dengan demikian diharapkan tidak ada pihak yang menggunakan jasa tersebut dan membuat pihak televisi kehilangan sumber keuntungan jika menayangkan tayangan kekerasan, sehingga mereka lebih selektif terhadap tayangan mereka.
Pembentukan lembaga yang bertugas untuk menyeleksi tayangan yang akan diputar di stasiun televisi Indonesia, bukan hanya lembaga yang berkaitan dengan perfilman saja. Terkait dengan tayangan asing, sebaiknya tayangan yang yang memiliki nilai budaya yang bertentangan dengan nilai luhur budaya sendiri atau nilai-nilai moral tidak ditayangkan.
Teknis penayangan yang lebih aman terhadap kemungkinan anak-anak untuk menonton, yaitu dengan cara menayangkan acara yang tidak pantas disaksikan anak pada jam-jam yang diperkirakan anak sudah tidur, misalnya pukul 22.00.
Pendampingan terhadap anak-anak pada saat menonton oleh orang dewasa. Diharapkan orang dewasa dapat memberikan penjelasan mengenai adegan yang ditayangkan. Jangan sampai anak salah menafsirkan suatu adegan dan akhirnya meniru adegan tersebut.
Pemberian logo pada tiap acara, dengan maksud memberikan informasi mengenai kategori usia penonton. Hal ini dapat dijadikan acuan bagi orang tua dalam memilihkan acara bagi putra-putrinya.
Sosialisasi/penyuluhan pada siswa Sekolah Dasar (SD), sebagai pelaku peniruan tayangan kekerasan “Smackdown”, mengenai bahaya dari perilaku meniru adegan dalam tayangan tersebut.
Seleksi tayangan televisi tidak dikhususkan pada tayangan yang diperankan oleh manusia dewasa saja, melainkan juga pada acara kartun anak.
3. Perubahan Prilaku Menghayati
Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara individu dan kelompok, sehingga akan menjadi manusia yang utuh, bermental baik, dan humanis (Endraswara, 2005:53). Jadi pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan.
Pengajaran sastra seharusnya bertumpu pada pembinaan apresiasi, sehingga peserta didik akan mampu menerima, memahami, menghayati, merespon, dan mereaksi karya sastra. Pada akhirnya mereka akan mampu menginterpretasikan sastra atas dasar pengalamannya. Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, diperlukan beberapa langkah, yaitu : keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya, penghayatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra secara inten, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi.
Pengimplentasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan kontekstual (Endraswara, 2005 : 78 -79) mengemukakan bahwa apresiasi harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu : apresiasi sastra harus mampu berpengaruh pada kejiwaan individu, individu mampu merespon pada karya yang sedang dinikmati, baik secara emosional maupun secara intelektual, kegunaan sastra sampai pada lahirnya pemahaman diri sendiri, karya sastra harus memberikan imajinasi yang mampu menghadirkan pengalaman sastra yang menakjubkan, kapasitas sastra dalam menyerap pikiran dan emosi akan menyadarkan pembacanya ke arah hidup yang sejati.
Aspek apresiatif mengarahkan kita pada pemahaman bahwa pengajaran sastra seharusnya mengarah pada aspek pragmatis, yaitu kegunaan atau fungsi sastra bagi peserta didik. Terdapat dua fungsi pokok pengajaran sastra, yaitu, pertama, pemerolehan kompetensi pada tataran pengalaman yang akan memungkinkan peserta didik mengakses berbagai hal lewat pembacaan karya sastra. Kedua, pemerolehan gambaran dan penjelasan secara luas dari pengalaman itu sendiri (Endraswara, 2005:42).

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU
Manusia adalah makhluk yang dinamis, oleh karena itu sekalipun setiap orang memiliki tipe perilaku yang dominan dalam dirinya akan tetapi perilaku seseorang dapat dikatakan bersifat situasional, kondisional dan temporal. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku salah satunya adalah nilai.
Secara etimologi ”nilai” suatu sifat atau hal yang penting atau berguna bagi kehidupan manusia. Di lain hal, nilai suatu yang diyakini memiliki kebenaran, berguna bagi seseorang, kelompok maupun masyarakat. Di samping itu, nilai juga merupakan pandangan seseorang terhadap sesuatu hal yang mengacu kepada pengertian baik dan buruk atau boleh dan tidak boleh dilakukan.
Terkait dengan upaya perwujudan tata kepemerintahan yang baik, maka yang menjadi nilai-nilainya adalah keseluruhan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik itu sendiri. Keseluruan prinsip-prinsip tersebut meliputi: wawasan ke depan; keterbukaan dan transparansi, partisipasi masyarakat; tanggung gugat; supremasi hukum; demokrasi; profesionalisme dan kompetensi; daya tanggap; efisiensi dan efektivitas; desentralisasi; kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat; komitmen pada pengurangan kesenjangan; komitmen pada lingkungan hidup; komitmen pada pasar yang fair. Menurut koentjaraningrat (1974) mengatakan bahwa dua dari mentalitet bangsa kita adalah :
1. Mentalitet yang suka menerabas
Potong kompas, ingin cepat selesai, ingin cepat sukses, ingin cepat berhasil tanpa prosedur proses yang harus dilalui dengan benar dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya ketika ada kesempatan.
2. Mentalitet merendahkan mutu
Menomorduakan mutu, yang penting ada output dan kurangnya jiwa bersaing.IQ, EQ dan SQ. Tidak adanya keseimbangan antara IQ, EQ dan SQ yang dimiliki oleh seseorang dapat menyebabkan perilaku seseorang akan tidak sesuai dengan pendidikan atau gelar tinggi yang dimilikinya.
Kecerdasan Intelektual atau dapat disebut juga dengan IQ adalah kemampuan kognitif dan keterampilan teknis yang dimiliki oleh seseorang. Lebih dari itu, IQ berkait dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknikal dan intelektual.
Kecerdasan Emosional atau dapat disebut juga dengan EQ adalah kemampuan untuk mengendalikan hal-hal negatif seperti kemarahan dan keragu-raguan atau rasa kurang percaya diri dan juga kemampuan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal positif seperti rasa percaya diri dan keharmonisan dengan orang-orang di sekeliling.
Terdapat empat unsur pokok dalam kecerdasan emosional: kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya; memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain; senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam; asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung.

C. PROSES PERUBAHAN PERILAKU
Pembentukan perilaku merupakan bagian yang sangat penting dari usaha mengubah perilaku seseorang. Berikut beberapa langkah yang perlu diambil untuk merubah perilaku:
1. Menyadari.
Menyadari merupakan proses dimana seseorang membuat identifikasi tentang apa/ bagian mana yang diinginkan untuk diubah dan mengapa perubahan tersebut diinginkan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa kesadaran tersebut harus menyatakan keinginan bukan ketakutan.
2. Mengganti.
Setelah seseorang menyadari untuk merubah perilakunya, maka proses selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengganti. Mengganti merupakan proses melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasan yang diyakini salah.
3. Mengintrospeksi.
Mengintrospeksi merupakan proses dimana seseorang membuat penilaian mengenai apa yang sudah diraih dan apalagi yang perlu untuk dilakukan. Di samping itu instropeksi juga berguna untuk mendeteksi kadar self-excusing yang bisa jadi masih tetap ada dalam diri seseorang hanya karena lupa membuat elaborasi, analogi, atau interpretasi dalam memahami dan melaksanakan.

1 komentar:

  1. assalamualaikum.
    bu, saya mau tanya,,, perubahan perilaku pada seseorang (perubahan yang berasal dari hati nurani) itu membutuhkan waktu berapa lama?

    BalasHapus