Ketuban Pecah Dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) atau ketuban pecah prematur (KPP) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir atau vagina sebelum proses persalinan.
Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu. Ketuban dinyatakn pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm (Abdul Bari Saifuddin,2002 ).
Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran chorio-amniotik sebelum persalinan yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm atau disebut juga Premature Rupture Of Membrane/Prelabour Rupture Of Membrane ( PROM).
Ketuban pecah prematur pada preterm yaitu pecahnya membran Chorio-amniotik sebelum persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture Of Membrane/Preterm Prelabour Rupture Of Membrane (PPROM). Ketuban pecah lebih dari 24 jamsebelum pelahiara disebut ketuban pecah memanjang.
B. Etiologi
1. Penyebab dari KPD tidak atau masih belum diketahui secara jelas maka usaha preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi.
2. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya insidensi KPD antara lain :
a. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
b. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage).
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
d. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
e. Keadaan sosial ekonomi : Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C).
f. Faktor lain :
1) Faktor golongan darah : akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan.
2) kulit ketuban.
3) Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
4) Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
C. Prisip Dasar Ketuban Pecah Dini
1. Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalianan berlangsung.
2. Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam Obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan mordibitas dan mortalitas perinatal, dan menyebabkan infeksi ibu.
3. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua fakto tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
4. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin, dan adanya tanda-tanda persalinan.
D. Diagnosa
Tabel 1.1: Diagnosa cairan vagina
No. Gejala dan tanda
yang selalu ada Gejala dan tanda
kadang-kadang ada Diagnosis kemungkinan
1. Keluar cairan ketuban - Ketuban pecah tiba-tiba
- Cairan tampak di introitus
- Tidak ada his dalam 1 jam Ketuban pecah dini
2. Cairan vagina berbau
Demam/menggigil
Nyeri perut
- Riwayat keluarnya cairan
- Uterus nyeri
- Denyut jantung janin cepat
- Perdarahan pervaginam sedikit
Amnionitis
3. Cairan vagina berbau
Tidak ada riwayatketuban pecah - Gatal
- Keputihan
- Nyeri perut
- Disuria Vaginitis / servitis
4. Cairan vagina berdarah - Nyeri Perut
- Gerakan Janin Berkurang Perdarahan banyak Perdarahan antepartum
5. Cairan berupa lendir darah - Pembukaan dan pendataran serviks
- Ada his Awal persalian
E. Penilaian Klinik
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat, tentukan pecahnya selaput ketuban, ditentukan dengan adanya cairan ketuban di vagina. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1. Riwayat
a. Jumlah cairan yang hilang : pecah ketuban awalnya menyebabkan semburan cairan yang besar diikuti cairan yang terus-menerus. Namun, pada beberapa kondisi pecah ketuban, satu-satunya gejala yang diperhatiakan wanita adalah keluarnya sedikit cairan yang keluarnya terus-menerus (jernih, keruh, kuning, atau hijau) dan perasaan basah pada celana dalamnya.
b. Ketidakmampuan mengendalikan kebocoran dengan latihan kegel: membedakan PROM dari inkontinensia urine.
c. Waktu terjadi ketuban pecah.
d. Warna cairan: cairan amnion dapat jernih atau keruh, jika bercampur mekonium, cairan akan bewarna kuning atau hijau.
e. Bau cairan: cairan amnion memiliki bau apek yang khas, yang membedakannya dengan urine.
f. Hubungan seksual terakhir: semen yang keluar dari vagina dapat disalahartiakan sebagai cairan amnion.
2. Pemeriksaan fisik.
Lakukan palpasi abdomen untuk menentukan volume cairan amnion. Apabila pecah ketuban telah pasti, terdapat kemumgkinan mendeteksi berkurangnya cairan karena terdapat peningkatan molase uterus dan dinding abdomen disekitar janin dan penurunan balotemen dibandingkan temuan pada pemeriksaan sebelum pecah ketuban. Ketuban yang pecah tidak menyebabkan perubahan yang seperti ini dalam temuan abdomen.
Melakukan inspeksi atau pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
3. Pemeriksaan dengan spekulum.
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
4. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
b. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
c. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
d. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion.
F. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.
Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
G. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini (KPD) pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent (L.P) /“lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
H. penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini (KPD) pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus Ketuban Pecah Dini (KPD) dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi.
Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar